Hukuman secara fisik dan emosional dari guru terhadap murid merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyak guru biasa mencubit, memukul anak-anak bahkan menghina mereka, baik di sekolah-sekolah negeri maupun sekolah yang berbasis keagamaan. Kadang guru tidak menyadari bahwa hal ini sebetulnya terlarang dalam hukum Indonesia. Undang-undang Perlindungan Anak No. 23, bab 54 secara tegas menyatakan bahwa guru dan siapapun lainnya di sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Terlebih lagi Indonesia merupakan salah satu penanda tanganan dari konversi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang mengharuskan negara menjamin bahwa: ”Tak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang merendahkan atau hukuman”. Meski demikian, tampaknya undang-undang tersebut belum dipahami oleh kebanyakan pelaku pendidikan, hal ini sebagaimana laporan penelitian Ibu Nur Hidayati, dkk, dari penelitian lapangan terhadap 8 Madrasah Ibtidaiyah di propinsi Riau ditemukan bahwa hukuman jasmani lumrah terjadi di semua madrasah yang dituju, dengan kisaran antara 50% - 80%, anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah mengalami hal ini dari guru-guru mereka secara rutin.[1]
Ibarat gunung es, kasus di atas baru di permukaan. Masih banyak tindak kekerasan dalam pendidikan yang tidak tampak. Demikian rapuhnya dunia pendidikan kita, hingga aksi kekerasan dan pelanggaran HAM para pelajar, para remaja, para penerus generasi bangsa terus meningkat.
Hak Anak dalam Pendidikan
Dalam Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) Pasal 1 disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan hendaknya diselenggarakan secara bebas (biaya), sekurang-kurangnya pada tingkat dasar. Di samping itu, pendidikan dasar haruslah bersifat wajib; pendidikan keahlian dan teknik hendaknya dibuat secara umum dapat diikuti oleh peminatnya; dan pendidikan tinggi hendaknya dapat diakses secara sama bagi semua orang atas dasar kelayakan.
Dalam Pasal 2 Deklarasi HAM juga dinyatakan bahwa pendidikan hendaknya diarahkan untuk mengembangkan secara utuh kepribadian manusia dan memperkokoh penghormatan terhadap HAM dan kebebasan asasi. Pendidikan hendaknya mendorong saling pengertian, toleransi, dan persahabatan antar berbagai bangsa tanpa memandang perbedaan ras dan agama, dan hendaknya meningkatkan kegiatan PBB untuk memelihara perdamaian.
Sedangkan pada Pasal 3 disebutkan bahwa orang tua memiliki hak utama untuk menentukan jenis pendidikan yang semestinya diberikan kepada anak-anak mereka. PBB menindaklanjuti pasal-pasal ini melalui berbagai kegiatan untuk memelihara perdamaian dunia. Dengan kata lain, pendidikan damai adalah upaya menyeluruh PBB melalui proses belajar mengajar yang humanis, dan para pendidik damai yang memfasilitasi perkembangan manusia. Mereka berjuang melawan proses dehumanisasi yang ditimbulkan akibat kemiskinan, prasangka diskriminasi, perkosaan, kekerasan, dan perang.
Dalam upaya global, para pendidik berupaya memajukan pengajaran nilai, standar dan prinsip yang terwujud dalam instrumen sebagaimana Pemusnahan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on Elimination of all Form of Discrimination Against Women, CEDAW),[2]Descrimination Based on Religion or Belief).[3] Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child, CRC), dan Deklarasi Sedunia tentang Pendidikan untuk semua (Education for all).
Secara khusus dalam CRC terdapat empat prinsip dasar dalam menyelenggarakan pendidikan yang dapat memenuhi hak anak, yaitu: non-discrimination (non diskriminasi), the best interests of the child (kepentingan terbaik bagi anak), the right to life, survival and development (hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan), dan respect for the views of the child (penghargaan terhadap pendapat anak).
Pertama, Non-Discrimination. Yang dimaksud non diskriminasi adalah penyelenggaraan pendidikan anak yang bebas dari diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang etnis, agama, jenis kelamin, ekonomi, keluarga, bahasa dan kelahiran serta kedudukan anak dalam status keluarga. Untuk mengimplementasikan prinsip ini pemerintah memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang layak.[4]
Kedua, The Best Interests of The Child. Yang dimaksud dengan prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak adalah dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan, kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.[5]
Ketiga, The Right to Life, Survival and Development. Yang dimaksud dengan prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang harus dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua.[6] Karena itulah KHA memandang pentingnya pengakuan serta jaminan dari negara bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak, seperti dinyatakan dalam pasal 6 ayat 1, bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memilki hak yang melekat atas kehidupan (inherent right to life)”, serta ayat 2 “ negara-negara peserta secara maksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development of child)”.[7]
Keempat, Respect for The Views of The Child. Yang dimaksud dengan penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Asslamualaikumm. Wr.Wb
Pak senang rasanya saya membaca blog bapa, saya juna mahasiswa UIN Bandung.
saya mau minta bantuannya untuk jurnal sumber referensi model ICARE,
tolong ya pak bantuannya kirim ke email: junkimsuk@yahoo.com
Adakah undang-undang yang melindungi guru seperti yang di lakukan terhadap murid ?
Posting Komentar